05/01/14

Ramalan Sang Menara

"Tik... Tok... Tik... Tok..." bunyi dentangan jam tangan Christopher membuat lamunannya menjadi-jadi. Sudah setengah jam sepertinya ia melamunkan momen yang baru dua hari ia lewati itu. Tugasnya di tanah kaum Gipsi telah berakhir, dan siang ini harusnya dia telah berada di kamar apartemennya yang hangat dan nyaman. Langit sedang tidak dalam mood yang baik dan memaksa para penumpang pesawat di bandara menunggu, termasuk Christopher. Ia kemudian kembali merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kartu tarot bertuliskan The Tower. Mungkin sudah kesekian kalinya ia melihatnya di tengah penantian cuaca yang tak kunjung membaik. Melihat kartu itu kembali membuat lamunan dan ingatannya menjadi satu: tentang sebuah ramalan.

. . .

Aku akan menceritakanmu sebuah rahasia yang mungkin tidak akan menjadi rahasia lagi. Tentang hal-hal tabu yang orang-orang modern bilang tak pantas untuk dipercayai atau hanya untuk sekedar dipertimbangkan. Tentang hal-hal yang oleh orang-orang yang mengaku berpendidikan sebagai suatu omong kosong tak berakal.

Malam itu seharusnya aku bertemu dengan seorang klien untuk urusan pekerjaan. Tepat jam delapan malam aku tiba di restauran yang tak terlalu ramai, tempat kami berjanji untuk bertemu. Restauran yang dihiasi oleh ornamen-ornamen kuno berwarna hitam dengan dinding-dinding yang didominasi warna hijau, serta penerangan yang tidak optimal memberi kesan 'mengerikan' jika aku boleh mengatakan. 

Sebagai seorang dewasa yang profesional adalah sebuah kewajiban untuk datang tepat waktu dalam urusan bisnis, namun entah apa yang dipikirkan oleh klienku ini sehingga membuatnya datang satu jam lebih lambat. Anehnya, dia datang tidak dari pintu utama restauran seperti yang kulakukan. Dia turun dari tangga pojok restauran yang tidak diperbolehkan untuk umum.

"Maaf ya saya terlambat, urusan saya ternyata belum bisa selesai seperti yang saya rencanakan," sapa orang itu sambil menjabat tanganku.

"Seharusnya Anda mengabari saya jika Anda akan datang terlambat," balasku tegas.

Perbincangan bisnis kami berjalan lancar tanpa ada masalah yang berarti. Aku menutupnya dengan tanda tangan klienku diatas kertas perjanjian.

"Anda sudah menikah?" tiba-tiba klienku bertanya. Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Aku menggeleng perlahan sambil tersenyum. "Pekerjaan Anda sepertinya sudah mumpuni untuk membangun bahtera rumah tangga," lanjutnya sambil mengernyitkan dahi. "Saya sebenarnya sudah disini dua jam lebih dulu dari Anda, namun waktu belum pas untuk kita berbicara bisnis. Begitu kata dia," klienku berdiri dan memberiku jabatan tangan. "Cobalah ke atas, dan jika dia bertanya, bilang saya yang memintamu kesana. Anggap saja sebagai rasa terima kasih sudah mau datang jauh-jauh ke sini," katanya mengakhiri pertemuan kami dengan misteri.

Sambil membereskan dokumen-dokumen di atas meja, pikiranku terbang menuju tangga di pojok restauran yang bertuliskan 'dilarang naik'. Kata-kata klienku mengganjal di benakku dan sudah terlanjur membawa kakiku ke lantai dua restauran itu. Sebuah pintu hitam menantiku dengan gagang emas yang memiliki ukiran indah. Pintu itu terbuka persis sesaat sebelum aku mengetuknya. Seorang wanita dengan ikat kepala khas Gipsi menyapaku.

"Silahkan masuk," katanya cepat tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara.

Berbeda dengan restauran di lantai satu, ruangan ini jauh lebih terang dengan warna dinding cerah mengelilinginya. Ruangan sebesar 3x4 itu hanya berisikan satu lemari buku yang penuh dengan buku-buku tentang ramalan dan dua tempat duduk berhadap-hadapan yang dipisahi oleh sebuah meja kotak kecil dengan kain hijau menutupinya. Jendela dengan tirai berwarna hitam terbuka di pojok ruangan membawa masuk angin malam yang dingin.

"Kamu cuma punya waktu dua jam untuk bertanya, dan akan dimulai dari pertanyaan pertamamu," wanita itu duduk sambil menyalakan rokok.

"Anda peramal?" tanyaku penuh keraguan.

"Haha... Pertanyaan pertama yang bagus! Berarti hitungan waktu sudah dimulai!" tangannya mengambil kartu tarot yang ada di atas meja dan mengacaknya. "Ya, aku seorang peramal," lanjutnya sambil mempersilahkanku duduk. "Jangan kaget. Aku tak suka dengan ruangan gelap, kesannya terlalu 'mistis'," dia menghisap rokoknya sambil tersenyum. "Silahkan, tanyakan apa yang ingin kau tanyakan,"

"Bagaimana masa depan karirku?" tanyaku. Aku masih belum bisa berpikir pertanyaan lain selain diriku. Wanita itu kemudian mengisyaratkanku untuk mengambil tiga kartu dengan jari-jarinya.

"Hmm, lumayan. Kamu punya tingkat rezeki di kisaran 70 dari 100. Angka yang bagus," wanita itu mulai menerjemahkan ketiga kartuku. "Kamu orang yang memiliki ambisi. Itu bagus, tapi selesaikan dulu satu-satu, jangan serakah," lanjutnya. "Jangan terlalu sering menghabiskan uangmu untuk hal tidak penting seperti sepatu dan pakaian, tabunglah untuk ambisimu yang berikutnya," dia menutup ketiga kartuku dan menaruhnya di luar kumpulan kartu yang lainnya. "Ada lagi?"

"Tebakan wanita ini bagus juga," pikirku. Maklum, dengan tingkat pendidikanku sudah seharusnya aku tidak terlalu terbawa dengan permainan kartu tarot ini. Kupikir ini hanya tebakan yang beruntung saja. Tapi perjumpaan yang tak pernah direncanakan dan tanpa perkenalan ini membuatku penasaran dan ingin melanjutkannya. "Bagaimana kabar ayah dan ibuku?" aku melanjutkan pertanyaan. Sekarang wanita itu menyuruhku mengambil empat kartu.

"Orang tuamu pekerja keras. Hidup mereka tidak pernah lepas dari pekerjaan, suatu hal yang positif. Rezeki terus mengalir dan sepertinya ada celah untukmu masuk. Tidak tertarik untuk melanjutkan bisnis keluarga?" tanyanya di tengah penjelasan. Aku menggeleng ragu. "Belum ya sepertinya, tapi akan. Coba kita lihat ibumu. Ah! Sedang berbahagia karena anggota keluarga baru ya? Selamat!" sekarang dia menjabat tanganku. "Sekarang kita lihat ayahmu, hmm... Dosa lama telah terampuni, sekiranya begitu menurutku, usahanya sudah cukup keras untuk menebus dosa-dosanya," katanya sambil menatap mataku. "Ada lagi?"

Sekarang otakku mulai berpikir irasional. Wanita ini seperti membuka bajuku hingga telanjang! Dia melihat orang tuaku seakan mereka ada di depannya. Aku tak bisa berkata-kata dan hanya bisa menggeleng-geleng takjub. Wanita itu tersenyum melihatku. "Hubungan asmaraku, bisakah kau melihatnya?" aku tidak bisa menahan pertanyaan ini. Pertanyaan yang mungkin sudah 1000 pasang kekasih tanyakan setiap kali mereka pergi ke para peramal. Tapi tetap saja aku tidak bisa menahannya.

"Sebegitu beratnyakah?" tiba-tiba wanita itu berbicara sambil mengecek wajahku. "Kita coba ya, ambil enam kartu," perintahnya aku turuti. Dia mulai membukanya satu-satu. "Ambil lagi satu," kembali aku turuti. "Satu lagi," perintahnya lagi membuatku semakin penasaran.

"Kisah cinta yang indah. Kalian sangat bahagia menjalani hubungan kalian. Sama-sama merasa nyaman ya. Namun masalah sangat besar menanti kalian dan sangat pasti menahan kalian dari jenjang yang lebih serius. Lihat kartu ini," dia menunjukkan kartu dengan gambar seseorang memasuki hutan. "Hutan ini akan sangat menyesatkanmu, membawamu kepada keraguan, tapi kamu akan bertahan, pasti," wanita itu memijat kepalanya sendiri. "Tapi malapetaka menantimu di ujung hutan, sang menara akan membawamu pada keputusasaan," sekarang dia menunjukkan kartu dengan tulisan 'The Tower'.

Aku berusaha mencerna apa yang telah diterjemahkan. Tapi aku masih merasa kurang dan masih ingin mencari tahu apa sebenarnya yang akan menjadi penahan serta malapetaka bagiku. "Bisakah ini berakhir dengan indah?" tanyaku.

"Bisa, tapi sungguh sulit. Hanya segelintir orang yang mampu merubuhkan sang menara," wanita itu menatapku dengan tatapan simpatik. "Sungguh malang jiwa muda yang tampan," dia mengelus pipiku.

"Aku ingin melihat orang tua kekasihku," tanyaku memberanikan diri. Wanita itu tersenyum dan menyuruhku mengambil enam kartu.

"Sebuah masa lalu yang sulit telah dijalani, namun dosa-dosa yang lalu belum pernah ditebus secara tuntas. Sekarang api kecil sedang menyala di bahtera rumah tangga mereka. Sekarang coba kamu perhatikan, apa yang mendominasi kartu-kartu ini?" dia menunjuk ke kartu-kartu yang sedang diterjemahkan.

"Koin?" jawabku ragu.

"Pentacles, pintar! Uh, keluarga yang bergelimang harta. Kasihan, cahayanya membuat silau mata mereka dan membutakan mereka untuk melihat jiwa baik di depanku," katanya sambil tersenyum melihatku. "Mari kita lihat sang ayah. Ah! Raja koin, sebuah anugerah atas tebusan mahal di masa lalu hidupnya. Kekerasan di masa lalu menempanya menjadi seperti sekarang. Semua serba duit, serba uang, keduanya dipersatukan oleh koin-koin kecil yang menumpuk. Dia akan melakukan segalanya untuk mempertahankan singgasananya. Mari kita lihat si ibu. Hmm... Ratu yang ingin dipuja. Masa lalu menghantui dirinya yang tak akan pernah puas. Sepertinya api kecil di bahtera mereka berasal dari kecemburuan sang ratu di masa lalu," dia melihatku seakan tahu bahwa aku akan bertanya.

"Apakah ini artinya penahanku adalah harta? Apakah aku tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka? Bukankah angka yang kau berikan tadi bagus?" aku langsung memcecarnya.

"Tidak akan pernah cukup untuk memuaskan mereka," dia menatapku tajam. "Ambil satu kartu," aku menurutinya. Dia membuka kartu itu dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya sesaat setelah dia melihatnya. "Baru kali ini aku melihat kisah yang seperti ini," dia bergumam sendiri.

"Ada apa? Kenapa?" tanyaku.

"Tidakkah kau ingin melihat kekasihmu?" dia malah berbalik bertanya. Aku mengangguk, kemudian dia menyuruhku mengambil tiga kartu. "Kekasihmu sangat bahagia denganmu. Tapi dia akan tetap bahagia tanpamu pada akhirnya," katanya menerjemahkan ketiga kartu tersebut. Wajah wanita itu sungguh lesu dan sedih. Terlihat seperti seseorang yang baru saja menonton film dengan akhir yang tidak bahagia.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya termenung dan mencoba mencerna semuanya. "Apa makna satu kartu yang sebelumnya?" tanyaku.

"The Hanged Man," dia menunjukkan kartunya. "Artinya pengorbanan. Orang tua kekasihmu bersedia mengorbankan apapun untuk menjaga singgasana koin mereka, meskipun itu artinya mengorbankan anak mereka sendiri," sekarang wanita itu memegang tanganku sambil melemparkan pandangan simpatik.

"Maksudnya mengorbankan?" tanyaku tak mengerti.

"Perjodohan. Itu yang paling mungkin akan terjadi. Pada akhirnya kekasihmu juga akan melakukan pengorbanan. Entah mengorbankan keluarganya untuk cinta atau sebaliknya. Pribadi yang semakin tersakiti akan menjadi sangat kuat dan keras. Karena itulah, pada akhirnya dia akan tetap bahagia. Dia akan membuka hatinya untuk sang calon suami, siapapun itu," tangan kanannya terus memegangi kartu The Hanged Man. "Renungkan ini, kekasihmu adalah pihak yang akan paling tersakiti," dia menatapku dengan mata penuh kesedihan. "Sungguh tega. Manusia macam apa yang tega membinasakan cinta demi harta," wanita itu merapikan kartu-kartunya.

Otakku berputar sangat cepat dan jantungku hampir meledak rasanya. Setelah semua tebakannya atas diriku, aku ragu dapat meragukan tebakannya atas masa depanku.

"Waktumu sudah habis. Kuberikan kesempatan terakhir untuk mengambil satu kartu," kali ini wanita itu mengeluarkan kartu yang berbeda dan mengacaknya. Aku mengambilnya.

"The Sign," dia menunjukkan kartunya. "Kamu sudah diberi petunjuk oleh sang Ilahi. Cermatilah sekitarmu," katanya mengakhiri penjelasan kartu terakhir.

Aku menghela napas mencoba menenangkan diri. "Tuan Christopher, pilihan Anda adalah yang terbaik, yakini itu, dan semua bisa terjadi," kemudian tangannya menutup mataku.

.

Aku tak tahu apa yang terjadi, setahuku aku sudah berada di kamar hotelku pukul enam pagi. Aku terbangun dengan mimpi yang aneh tentang aku berada di hutan dan kekasihku disekap di sebuah menara. Aku kemudian mengenakan jaketku untuk pergi sarapan. Ada sesuatu di sakuku. Dan ternyata itu kartu The Tower.

. . .

Christopher masuk ke dalam pesawat sambil memegangi kartu itu di sakunya. Dia menebak-nebak dan meragu atas keberadaan kartu itu. Dua hari yang lalu berjalan seperti sebuah mimpi, namun jika begitu, kenapa kartu itu bisa ada di sakunya? Christopher sangat ingin menceritakan pengalaman ini kepada Carmen, tapi sepertinya belum saatnya. Dan meskipun jika nanti Carmen mengetahuinya, Christopher berharap tak akan ada pertanyaan yang terlontar untuknya. Karena dia hanya mengetahui semua ini sebatas 'ramalan'.

2 komentar:

  1. sek, sek, ta cari kamus sek, haha... jumat dateng ke book club te di matchamu jam 6 sore abis magrib... bawa buku fiksi! :D

    BalasHapus