07/03/12

Sekolah Kita (Tidak) Perlu Pagar dan Tralis

Masih ingatkah kita dengan seragam putih abu-abu kita? Mungkin sekarang kita sudah tidak tahu lagi dimana keberadaannya. Sekolah merupakan masa-masa paling indah, saat-saat kita menimba ilmu, bertemu dengan guru, melakukan kenakalan remaja, dan bahkan bertemu dengan sang kekasih. Tapi sudahkah sekolah di negara kita memaksimalkan tujuan utamanya? Pendidikan adalah hak semua warga negara yang seharusnya mampu dipenuhi oleh negara. Dulu kita mengenal jargon "wajib belajar 9 tahun", kenapa harus ada kata wajib dalam belajar?

Saya sempat tertegun oleh berita-berita di media masa yang menceritakan betapa kerasnya usaha pelajar-pelajar di daerah, baik SD, SMP, maupun SMA, dalam menimba ilmu. Bayangkan saja, mereka ada yang harus menempuh jarak dan waktu yang tak lazim untuk ke sekolah, bahkan ada yang harus melintasi sungai menggunakan jembatan yang terbuat hanya dari dua utas tali. Bayangkan dengan mereka yang sekolah di kota, tentu terlihat jelas ketimpangannya.

Kenakalan remaja memang sesuatu yang lazim terjadi di kalangan pelajar, selama itu dalam kadar yang tidak berlebihan. Berkelahi, pulang malam, berpacaran, dan lain sebagainya. Tetapi kemudian terlintas satu hal yang agak membuat saya tidak enak, yakni kenakalan pelajar akan membolos. Kalo kita kembali pada kelaziman kenakalan pelajar memang itu adalah sesuatu yang wajar, sesekali tidak apa selama tidak mengganggu nilai. Ini yang kemudian menjadi perhatian saya. Mengapa mereka membolos? Dalam artian mereka menghindari hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.

Sekolah di Indonesia, terutama sekali di perkotaan pasti memiliki pagar di depan sekolah. Saya tidak memahami hal ini sebelum seorang dosen saya bercerita mengenai pengalamannya akan sekolah di negeri kanguru. Pagar merupakan sesuatu yang menurut saya menggelikan. Generasi muda kita terus menerus dipaksa untuk sekolah, diwajibkan menimba ilmu tanpa adanya kesadaran bahwa mereka sebenarnya memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Pagar menjadi sebuah ikon bahwa pendidikan di Indonesia masih merupakan suatu paksaan atau kewajiban. Dalam hal ini mungkin masih bisa ditolerir karena sudah menjadi hal yang umum bagi setiap sekolah di Indonesia untuk memiliki pagar. Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat pencurian, apalagi di kota, sangat tinggi. Fasilitas di sekolah seperti komputer dan alat-alat praktikum akan menjadi sasaran empuk untuk dicuri.

Tetapi kemudian hal ini bertambah parah setelah adanya pemasangan tralis di setiap jendela ruangan sekolah. Menurut saya, hal ini menimbulkan efek psikologis yang cukup serius. Pelajar akan merasa bahwa mereka dikurung, mereka ada di dalam penjara pendidikan. Ini kemudian menjadi argumen utama saya mengapa para pelajar membolos. Mereka bosan, dan mereka belum merasa membutuhkan pendidikan karena mind set yang terbentuk di dalam pikiran mereka. Tetapi di sisi lain kita tidak boleh melupakan alasan pihak sekolah dalam memasang tralis tersebut. Pencurian dan pengantisipasian pecahnya kaca sekolah menjadi alasan utama mengapa tralis dipasang.

Negara kita sejak awal kemerdekaan sudah mendeklarasikan diri sebagai negara demokratis. Orde Baru memang sempat menghancurkan mimpi itu, kita berada dalam bayang-bayang penguasa otoriter. Segala sesuatu diwajibkan, menyebalkan memang, tetapi kita mampu melewati itu. Era Reformasi merubah segalanya, kita benar-benar kembali ke arus demokrasi. Meski saya belum mengusasi apa itu demokrasi secara penuh, saya percaya bahwa hak merupakan fondasi dasar dari demokrasi. Ini kemudian yang dilanggar oleh negara kita. Belajar itu bukan sesuatu yang wajib, itu adalah hak.

Saya yakin bahwa semua guru di Indonesia adalah tauladan yang baik, mereka tahu betul mana yang baik dan buruk. Tetapi kesalahan fatal sistem pendidikan di Indonesia adalah ketidakmampuan badan pendidikan untuk menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu penting. Orang tua sebagai tauladan utama para pelajar tentunya juga mengambil peran dalam hal ini. Seringkali pelajar dimarahi ketika membolos sekolah, tanpa tahu apa alasannya. Padahal, menurut saya, hal ini tidak akan terjadi jika pelajar benar-benar tahu kebutuhan mereka akan ilmu dan pendidikan. Sekalipun mereka membolos, tentunya karena hal-hal yang masih dalam lingkar rasionalitas. Karena kita tidak bisa selalu menjamin bahwa dalam menimba ilmu kita selalu dalam performa maksimal. Absensi menjadi suatu yang sangat sakral, padahal hadirnya pelajar di sekolah belum tentu menjamin apakah dia mendapatkan ilmu.

Bagi saya belum terlambat bagi para orang tua, guru, badan pendidikan, dan pemerintah untuk mengubah mind set masyarakat akan pendidikan. Berikan kebebasan bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan, tentunya hal ini harus diiringi oleh kemampuan negara untuk membangun sekolah yang layak dan terjangkau secara menyeluruh di Indonesia. Dengan menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu penting dan merupakan bagian dari hak dan kebebasan mereka, tentunya tingkat intelektualitas di Indonesia akan meningkat dengan sendirinya. Biarkan pelajar untuk membolos, atau melakukan kenakalan yang lain selama mereka tahu konsekuensinya, mereka akan belajar untuk bertanggung jawab. Lebih baik gunakan uang untuk membangun pagar dan memasang tralis, untuk hal lain yang lebih efektif, seperti meningkatkan fasilitas sekolah atau akses menuju sekolah. Jangan takut akan kekurangan, pembangunan sekolah merupakan kewajiban negara. Silahkan belajar dengan bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar