06/05/12

Pemburu Naga

"Ambilkan air hangat, cepat!" teriak ibu kepadaku.

Aku langsung berlari menuju dapur untuk mengambil air dari tungku perapian dan memberikannya kepada ibu.

"Tatap mataku anak muda, jangan lihat yang lain. Belum waktunya kau pergi ke Valhalla." ibu meyakinkan Axio.

"Oh, Odin yang agung. Setidaknya izinkan aku bertemu dengan naga itu lagi." kata Axio sambil memegang perutnya yang tertancap oleh tanduk naga, lukanya sangat parah.

Malam itu sangat larut, Axio berhasil menemukan naga merah yang sedang beristirahat di danau Sapphire. Dia mencoba menaklukkannya seorang diri. Dia memang seorang pemburu naga yang handal, tapi naga merah jelas bukan tandingannya.

Desa kami memang terkenal sebagai desa para pemburu naga. Ayahku meninggal akibat lengah ketika berburu dengan kelompoknya. Aku juga ingin menjadi pemburu naga seperti ayah.

"Dia akan baik-baik saja, tanduknya sudah berhasil aku cabut. Biarkan dia bermalam di sini. Kalian kembalilah ke rumah, jadikan ini sebagai pelajaran untuk tidak berburu naga seorang diri. Ingat kata-kataku! Aku tak ingin ada mayat di rumahku." kata ibu kepada semua yang ada di rumah kami.

Ibu adalah seorang perawat yang ternama di desa kami. Sayang, ibu tidak bisa menyelamatkan nyawa ayah waktu itu. Kejadian itu membuatnya melarangku untuk menjadi pemburu naga. Sempat ada pembicaraan antara kami berdua untuk pindah ke kota Gale. Ibu ingin aku belajar dagang dengan paman Leo. Tapi aku bersikeras ingin menyelesaikan sekolah para pemburu naga di sini. Itu juga merupakan amanat ayah yang terakhir, ibu pun menerimanya.

"Aku tak ingin menjadi orang yang kehilangan segalanya. Kau sangat berharga bagiku, anakku. Aku telah kehilangan seorang kekasih, seorang suami, dan seorang kepala keluarga yang baik di tanganku sendiri." kata ibu memegang tanganku sambil meneteskan air mata.

"Dan seorang pemburu naga, jangan lupakan itu ibu." tambahku sambil menggenggam tangan ibu.

"Iya, iya." jawab ibu tersenyum sambil menyeka air matanya.

"Aku akan menemani Axio, bu." kataku sambil mencium kening ibu.

Ayah memang seorang pemburu naga, tapi tidak terlalu handal. Dia sekelompok dengan Zatu, temannya sejak kecil dan pemburu naga paling hebat yang ada di desa kami. Zatu baru saja berangkat untuk ekspedisi pencarian naga putih bersama dengan kelompoknya. Zatu adalah ayah Axio, dan tentu dia tidak tahu keadaan anaknya sekarang.

"Hei." sapaku kepada Axio.

"Hei. Aku mendengar tangisan tadi. Kau tak apa?"

"Ya, ibu sempat menangis tadi. Seharusnya aku yang bertanya mengenai keadaanmu." jawabku sambil bercanda.

"Haha, aku tak apa berkat ibumu. Pasti berat untuk kehilangan ayahmu."

"Ya, tentu. Semua orang punya masalah yang berat. Bukankah begitu?"

"Ya."

"Bagaimana rasanya menjadi seorang pemburu naga?"

"Kadang menyenangkan, kadang mengerikan. Tapi bukan itu yang penting."

"Lalu?"

"Ah, sudahlah. Kau tak ingin mendengar cerita dari seseorang yang baru saja tertusuk tanduk naga kan? Memalukan sekali aku ini, ayah pasti malu jika tahu."

"Haha, memang sulit untuk membayangkan apa yang terjadi padamu. Ayolah, tak apa, lagipula aku sudah terlatih untuk mendengar tangisan ibu setiap hari, apa ada yang lebih buruk daripada itu?" kataku menggodanya.

"Sial kau, haha. Baiklah, aku akan cerita. Aku selalu dibayang-bayangi oleh prestasi ayahku. Semua orang menginginkan sesuatu yang lebih dariku. Ekspektasi yang tinggi, kau tahu kan. Dan mungkin sekarang aku telah merusak segalanya."

"Oh ayolah, naga merah seorang diri? Siapa yang cukup berani untuk melakukan itu?"

"Cukup berani atau cukup bodoh? Aku sangat putus asa. Sesaat sebelum ayahku pergi, aku ingin memberikannya taring naga merah, tapi aku tak kunjung menemui naga merah. Dan ketika aku menemukannya, situasiku sangat tidak menguntungkan. Aku ingin membuat ayahku bangga. Ketika ia pulang, aku ingin memberikan taring naga merah kepadanya."

"Ayahmu sudah bangga dengan siapa dirimu Axio, masih banyak cara untuk menyambut pulang ayahmu. Kau sudah menjadi pemburu naga yang handal."

"Terima kasih."

Aku melihat matanya yang kosong. Aku tahu, perasaannya sangat tidak baik saat ini. Axio berjuang di bawah bayang-bayang ayahnya. Sesuatu yang sangat sulit dijalani oleh seorang anak muda berumur 22 tahun.

"Baiklah, kau butuh banyak istirahat. Aku akan pergi ke kamarku. Jika ada apa-apa, kau boleh teriak, haha."

"Haha, baiklah. Terima kasih telah menemaniku."

Aku pun meninggalkannya di kamar tamu. Langkahku berat menuju kamar. Banyak pikiran yang terlintas di benakku. Aku selalu melihat Axio sebagai sosok pemburu naga yang ideal, muda dan handal. Tapi kenyataan berbicara lain.

Aku membuka pintu kamarku, dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Mungkin aku tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang pemburu naga. Mungkin ibu benar, aku akan pandai menjadi seorang pedagang. Mungkin Odin yang agung punya rencana lain. Mungkin dan mungkin. Begitu banyak kemungkinan, dan aku tak tahu akan menjalani yang mana. 

Aku pun memejamkan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar