11/01/14

Rentan

Tangannya berkeringat, matanya sendu, dan hatinya ragu setelah menerima telepon. Bingung untuk bercerita, malu untuk meminta tolong, adalah kemanusiawian yang sering kita alami di dunia yang semakin individualis. Sekitar jam dua malam ia memberanikan diri mengetuk pintu bernomor tujuh itu. Dengan perasaan yang campur aduk, ketiadaan pilihan, dan keterdesakan, dia akan menerima semua konsekuensi atas apa yang akan dia lakukan ini.

. . .

Lelaki itu telah berusia mungkin sekitar 30an sekarang. Dia telah lama memutuskan untuk meninggalkan desa kelahirannya, merantau ke ibukota yang katanya mengabulkan mimpi-mimpi mereka yang mencari rezeki. Bermodalkan ijazah SMP tak banyak yang bisa dia harapkan dari janji manis ibukota.

Perbaikan jalan dan pembangunan gedung-gedung tinggi menghiasi wajah ibukota. Bertanya dari satu orang yang tak dikenal hingga orang tak dikenal lainnya demi mengharap mendapatkan pekerjaan yang bisa memberikannya rezeki halal telah membawanya menjadi seorang buruh bangunan. Tak terlalu besar, namun gajinya cukup untuk menghidupinya hari ke hari. Mengisi perutnya yang kosong dengan sedikit nasi, dan ayam mungkin jika dia cukup beruntung mendapat panggilan di sebuah proyek besar. Kos adalah pilihan paling cerdas untuk bertahan hidup.

"Apalah enaknya hidup di ibukota," pikirnya setelah hidup berbulan-bulan dengan kondisi ekonomi yang tidak membaik namun malah cenderung memburuk. Sejatinya dia enggan meninggalkan desanya yang ramah, yang komunal, dan saling mengenal. Namun nasib berkata lain.

Cintanya yang tak disambut baik oleh sang mertua karena masalah ekonomi membuatnya memberontak dari desakan sosial. Dengan gigih ia mengejar cintanya, ia akhirnya berhasil memenuhi sunah nabi. Hati manusia memang tidak pernah ada yang tahu, hingga suatu hari ia harus menghadapi konsekuensi perbuatannya. Baru ia sadar sang istri memiliki kelainan jiwa. Setiap kali ia membuat belahan jiwanya marah atau sekedar kecewa, ia akan menerima luka. Luka fisik yang pikirnya tak akan sebanding dengan dua buah hatinya. Mulai dari memar, hingga luka sayatan pisau. Akhirnya ia menyerah kepada keadaan, ia menceraikannya. Sayang takdir kembali mengujinya, pengadilan memutuskan dua buah hatinya akan diasuh oleh sang belahan jiwa. Hancur sudah harapan, mimpi, dan hidupnya. Maka, ibukota menjadi pelarian.

. . .

"Ada apa, mas?" pemuda itu membuka pintunya.

"Maaf, mengganggu, tapi boleh saya minta waktu sebentar?" tanyanya.

"Oh, boleh! Silahkan masuk." pemuda itu mempersilahkannya masuk ke ruang seluas 3x4.

"Anak saya sakit, kata dokter kena paru-paru basah," ia mencoba menahan emosinya. "Kemarin sudah dirawat tiga hari, saya pikir sudah bisa pulang, tapi ternyata malah harus masih dirawat," kepalanya menunduk ke bawah. "Saya sudah kehabisan uang, mas. Biayanya membengkak, rawat inap, obat, dan belum lagi kontrol setelah pulang ke rumah," sang pemuda mulai mendapatkan maksudnya. "Kalo saya boleh, saya mau meminjam uang yang dulu mas janjikan kalo saya perlu bantuan," akhirnya keluar kata-kata itu dari mulutnya. Perasaannya lega, meski ia tahu tidak ada kepastian sang pemuda memiliki uang yang telah ia janjikan sebulan sebelumnya untuk perihal kemanusiaan seperti ini.

"Oalah, sebentar ya mas, saya ambilkan dulu. Tapi saya hanya punya sedikit," pemuda itu menyatakan ketidaksempurnaannya.

"Gak apa, asal mas ikhlas, saya sudah sangat berterima kasih," katanya. 

"Ini mas. Semoga anak mas lekas sembuh ya," sang pemuda memberikan uangnya tanpa meminta kepastian darinya untuk mengembalikan. Baginya rezeki adalah pemberian Tuhan, manusia hanya bisa berusaha. Untuk kebaikan, uang akan kembali, itu prinsipnya.

Malam itu dingin dan sang surya masih terlelap, lelaki itu mengenakan jaketnya dan menaiki motor bebek tuanya menuju desa kelahirannya. Dengan harapan dan doa-doa dipanjatkan kepada sang Ilahi, ia berangkat menghadapi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar