01/06/13

Sapaan Terakhir

"Pulanglah," suaranya melemah di telepon.
"Ya, aku akan pulang," jawabku terdiam sejenak.

Baru beberapa hari aku kembali ke tanah rantau ini, di negeri orang, aku telah mendapatkan sebuah kabar buruk yang tak pernah sedetik pun terlintas di bayanganku. Janjiku harus aku penuhi, janji yang sebenarnya tak pernah terucap, namun sudah terlanjur terpati di hati. Bukankah janji yang tak pernah terucap adalah janji yang tak akan pernah terlanggar?

. . .

"Jika kau harus memilih antara meneruskan karirmu yang saat itu juga mempromosikanmu atau pulang untuk menemui keluargamu yang sedang sakit parah, kau akan memilih yang mana?" tanyanya kepadaku.
"Aku akan pulang," jawabku sambil menghirup cerutuku.

Saat itu malam terasa sangat dingin. Padahal kami berada di dalam kafe dan tepat di depan perapian. Sepertinya alam mencatat kata-kataku dan menugaskan angin malam agar lebih dingin kali ini sebagai balasan atas kata-kataku.

"Sepupuku tak berpikir seperti itu. Dia memilih untuk melanjutkan studinya di Belgia ketimbang menghabiskan waktu di sisi pamanku yang sakit parah," dia lanjut bercerita kepadaku.
"Bagiku tak masalah, setiap orang punya prioritasnya masing-masing kan?" balasku memandang buku Machiavelli miliknya diatas meja kayu bundar tempat kami berbicara.
"Benar, kita juga tidak punya hak untuk memaksa alur kehidupan seseorang," katanya menutup perbincangan kami.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul satu malam. Sudah tiga jam kami habiskan waktu untuk berbincang-bincang. Christopher adalah pria berkewarganegaraan Inggris berlatarbelakang keluarga kerajaan. Sayang, keluarga besarnya tak seharmonis yang sering dibayangkan oleh orang-orang. Semua orang menyimpan ceritanya sendiri-sendiri. 

Tak pernah terpikir olehku untuk dapat berbicara kepadanya lima tahun yang lalu. Jika aku tidak memutuskan untuk kuliah, mungkin aku masih akan terjebak di negeri khatulistiwa. Masa depan memang tidak ada yang tahu. Mungkin di satu sisi pilihanku benar, tapi mungkin di sisi yang lain berakibat sebaliknya.

. . .

Aku memesan tiket pesawat secepat mungkin. Menelpon bosku untuk meminta izin dan meminta teman-temanku untuk menggantikan posisiku beberapa hari ke depan. Waktu kembali terasa bergulir sangat cepat, aku mengemas barang-barangku seadanya, dan pergi ke bandara. Pikiranku kosong, hujan mengisinya dengan suara rintikan.

Ternyata sapaan terakhir yang kudengar darinya adalah melalui telepon itu. Selamat jalan, terima kasih untuk kehidupan yang telah kau berikan.

Stay strong, my friend!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar