14/08/12

Skenario Terakhir

Malam itu dingin, di pinggir pantai dia sudah menunggu.

"Egak pakai jaket?" tanyaku memecah desiran ombak.
"Nda," jawabnya singkat sambil berlahan mengubah arah pandangannya dari laut kepadaku.

Matanya tetap menawan seperti pertama kali aku melihatnya. Tanpa kacamata, tatapannya selalu bisa menembus isi hatiku.

"Jadi, bagaimana?" tanyaku sambil menghampirinya.
"Nda tau," balasnya sambil memelukku.
"Waktunya sudah tiba, bukankah kita sudah saling tahu?" balasku sambil memeluknya erat.

Tubuhnya yang langsing, ringkih, dan sesaat seperti rapuh, memikat hatiku di tengah segala kekurangannya.

"Jika aku mencintaimu yang berbeda denganku, apa itu salah?" tak terasa air matanya mulai turun membasahi pundakku.
"Tidak. Tak ada yang salah," jawabku.

Malam itu aku hanya ingin berdua dengannya, jauh dari keramaian. Memikirkan segala hal yang sudah kami lewati, baik dan buruk, suka dan duka. Di tengah derasnya kemajuan zaman, sepertinya kami berada di dua arus yang berbeda. Tradisi dan agamanya tak akan pernah bisa mengizinkanku memasuki dunianya. Tetapi cinta membuka ruang dan dimensi baru bagi kami untuk bisa bersatu, meski hanya sepersekian persen dari seluruh waktu yang diberikan Tuhan.

Sebelum matahari terbit, kami pasti berlayar. Entah itu menggunakan satu kapal, atau dua kapal yang berbeda tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar