15/02/14

Ada Setangkup Haru dalam Rindu

Di tengah hiruk-pikuknya dunia maya tentang letusan gunung Kelud, malam itu aku pergi untuk keluar mencari makan malam. Jam telah menunjukkan pukul setengah 12 malam dan langkahku terhenti di sebuah pinggiran jalan. Tempat makan yang tidak asing lagi bagiku, sebuah tempat makan yang menjual gudeg dadakan itu rasanya enak dan memang agak mahal.

Tak ada yang berbeda malam itu, hujan abu pun belum turun, dan si ibu penjual juga masih dengan ramah menyapaku. Seperti biasa, aku memesan daging ayam bagian paha atas dan minum teh hangat untuk melawan dinginnya angin malam. Awalnya aku ingin membungkusnya, namun sepertinya akan lebih menyenangkan meluangkan waktu sejenak di luar kamar pikirku saat itu. 

Aku duduk di sebelah seorang bapak-bapak, umurnya mungkin 30an. Dia mengenakan batik, rapih dengan celana bahan, dan sepatu pantofel hitam. Dia tersenyum kepadaku sambil membenarkan kacamata bundarnya dan menyimpan kunci mobilnya di saku celananya sehingga ada ruang untukku duduk. Sesaat setelah aku memasukkan beberapa suap nasi, ada seorang bapak-bapak yang menghampiri bapak-bapak sebelahku. Tampilannya 180 derajat berbeda. Dia menaiki motor tua, dengan plat luar Jogja. Kaosnya lusuh, mengenakan celana pendek, dan sandal jepit.

"Halo, bung!" sapa bapak-bapak yang baru datang itu kepada sebelahku.

"Halo, gimana kabarmu?" balas sebelahku dengan logat Jakarta.

"Apik! Wah, rapih tenan koe?" tanyanya.

"Iya, ini abis dari nemenin bos," jawab sebelahku sambil tertawa kecil.

"Wah, sudah jadi orang ya kamu. Eh, tau gak teman kita si X sudah jadi Kajur lho sekarang!" kata bapak-bapak itu sambil mengambil dingklik untuk duduk di depan sebelahku.

"Wah, yang benar? Padahal dulu dia bilang gak mau jadi dosen, haha," balas sebelahku melanjutkan makannya.

"Iya, katanya dulu mau ke Jakarta, hidup kantoran, eh, rupanya ora iso lepas karo Jogja, haha,"

"Yah, namanya juga manusia, tidak ada yang tahu takdir toh? Kamu sendiri bagaimana? Gak mau rantau?" tanya sebelahku yang sekarang selesai menghabiskan makan malamnya.

"Wah, aku juga sepertinya sama seperti si X, terlanjur cinta dengan Jogja, haha" jawab bapak itu sambil menatap keramaian lalu lintas di perempatan Ring Road Jalan Kaliurang.

Keduanya melanjutkan perbincangan mereka, bernostalgia dengan waktu yang tidak pernah mau berhenti atau sekedar menanti. Aku segera menyelesaikan makan malamku dan kembali ke kamar kosku yang mungil. Sembari melangkahkan kaki, lampu-lampu jalanan berubah menjadi serpihan-serpihan kecil kenangan yang akan selalu teringat. Tentang kota yang penuh cerita, cinta, dan persahabatan. Tak terasa sudah hampir empat tahun aku ada di kota ini. Tak pernah menyesal aku berada di Jogja meski jauh dari keluarga. Jogja akan selalu menjadi rumahku, selalu memiliki tempat yang istimewa di hati setiap orang yang pernah ke kota Gudeg ini.

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar