13/02/14

Seperti Buah

Sore itu sebenarnya aku akan menghadiri rapat organisasi, tapi satu buku yang baru aku selesai baca mengganggu pikiranku, membuatku resah. Aku membuka laptop mungilku dan mengutak-atik kata menjadi rangkaian kasar. Dosa sekali aku, melewatkan rapat untuk keegoisan nafsu berpikirku. 

Sahabatku ini, sudah dari setadi sebenarnya di hadapanku. Sesekali berbicara, sesekali aku tanggapi, sesekali aku kembali sibuk dengan kata-kata dalam dunia maya. Tak terasa, sudah tiga jam lamanya kami berdiskusi, dan suasana seperti ini yang mungkin kelak ketika aku sudah bekerja, berkeluarga, akan sangat aku rindukan.

. . .

"Intinya, manusia yang punya ilmu banyak itu seperti buah" katanya setelah menenggak sebotol minuman rasa.

"Maksudnya?" aku menghentikan tarian jariku di atas keyboard untuk mendengarkannya sejenak.

"Buah yang sudah tua atau matang itu teksturnya empuk. Contohlah mangga, semakin tua, semakin matang, semakin wangi, semakin empuk. Kalo dibuka, harum, warnanya meyakinkan kita kalo rasanya enak. Buahnya akan terasa lembut, empuk, dan manis." lanjutnya sambil menatap buku yang sudah aku baca di sebelah laptopku.

"Kalo begitu seharusnya para pemuka agama seperti itu dong" aku kembali melanjutkan tulisanku.

"Ya, seharusnya. Tapi kita kan gak tahu apakah para pemuka agama itu memang benar-benar punya ilmu banyak" lanjutnya.

"Pemuka agama kita banyak yang keras, saklek, sepertinya sangat takut dengan perubahan, dengan modernitas. Sedikit-sedikit dibilang 'kafir', sedikit-sedikit dibilang 'antek liberal', macam mana itu" aku berbicara masih sambil sibuk dengan tulisanku.

"Yah, kamu kan bisa membalikkan analogiku tadi. Yang belum matang, tentu keras teksturnya. Enggan menerima perubahan, enggan menerima sesuatu yang baru, karena mereka memang belum matang"

. . .

Kami mengakhirinya dengan tawa. Diskusi yang berawal dari masalah jilbab ini ternyata membuat tiga jamku sangat berharga. Tidak pernah aku menyesal menghabiskan waktu untuk berdiskusi, dengan siapapun, dan kapanpun tentunya. Diskusi membuatku mengerti dunia, mengerti manusia, mengerti siapa "aku" dan "kamu", dan terkadang membuatku kembali penasaran dengan-Nya. 

Sekarang, sahabatku itu malah diganggu dengan masalah jilbab. Tidak hanya itu, ada juga yang bermasalah dengan hari Valentine, besar-besar memposting gambar "Menolak hari Valentine karena saya seorang muslim". Radang hati ini rasanya, itu kan budaya, sepertinya tidak ada sangkut-pautnya dengan ke-Islam-an-mu. Aku punya saran, kenapa tidak posting ini, "Saya seorang muslim, dan saya menghargai hari Valentine sebagai sebuah keberagaman budaya". Ah, pusing sendiri aku. Tapi jadi geli sendiri karena mengingat perbincangan ini. Ternyata manusia memang seperti buah ya, dan saya sepertinya juga bukan buah yang sudah matang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar