11/06/14

11 Juni 2014

Kepada Isabel,

Sudah lama kita tidak berbincang atau sekedar bertukar sapa. Bagaimana kabarmu? Apakah kau masih seperti dahulu? Tersenyum tersipu malu jika kupandang matamu lebih dari tiga detik? Oh, Isabel, kau tahu, sungguh dalam hati masing-masing manusia menyimpan rindu yang tak terkira. Kepada Tuhan, kepada keluarga, kepada cinta, dan kepada dendamnya.

Aku baik-baik saja di hutan beton ini. Aku masih menjadi diriku, atau mungkin lebih tepat mengatakannya, aku kembali seperti dulu lagi. Seperti sejak sebelum bertemu denganmu. Isabel, dunia ini keras ya. Terkadang kita lupa bahwa sebenarnya kita hanya memerlukan sebuah senyuman untuk dapat membuat sepersekian detik hidup kita sendiri atau bahkan hidup orang lain lebih indah.

Isabel, dari semenjak kepergianku, banyak cerita yang belum aku sampaikan. Entahlah, apakah suratku ini akan sampai padamu atau tidak. Meskipun sampai, apakah akan kau baca? Ah biarlah. Lagi-lagi, cerita tentang cinta memang cerita yang tidak akan pernah habis dimakan usia. Bagaimana dengamu? Sudahkah kamu menemukan cinta sejatimu? Terakhir kita bertukar kabar, kau masih mengidam-idamkan sosok yang aku pikir tidak akan pernah hadir di dunia ini. Kau memang seorang utopis sejati, haha.

Sungguh cinta itu sulit dimengerti. Yang dekat terkadang terasa jauh, yang jauh terkadang terasa dekat. Apakah kau pernah merasakannya juga, Isabel? Ya, aku bertemu dengan dia yang dulu pernah merebut hatiku dengan senyum manis dan paras wajah cantiknya. Aku menghabiskan hariku dengannya melewati senja yang tertutup awan hitam polusi kendaraan ibukota. Aku menyukainya, jujur. Tapi terkadang ada rasa yang kurang, yang janggal. Hening di antara kami sangat asing. Dia tak pernah banyak bertanya, dia tak pernah banyak memberi kabar, tapi dia selalu ada. Katakan, apakah itu cinta?

Ah, Isabel, aku ini lelaki yang tak akan pernah terpuaskan hasratnya. Beberapa malam yang lalu aku juga memberanikan diri untuk bertemu dengan dia yang matanya menembus relung jiwaku. Malam itu rembulan ditutupi hujan yang turun dengan malu-malu, memberikanku nuansa romansa yang tak pernah aku rasakan semenjak kepulanganku ke ibukota. Ia begitu cantik, Isabel. Aku tak bisa melepas pandanganku darinya. Kendati demikian, mata kami tak pernah bertemu karena ia sibuk berbincang dengan sahabatnya. Ah! Aku merasa bodoh sekali malam itu. Ragaku seakan-akan membeku dengan keberadaannya. Aku tak bisa menjauh, tapi aku segan untuk mendekat. Aku takut terlalu dekat, Isabel. Lagi-lagi, apakah itu cinta?

Aku rasa ia akan menjadi cinta yang tak berbalas Isabel. Tapi biarlah, memandang wajahnya saja sudah membuatku senang, membuat bibirku tersenyum tanpa kusadari. Terkadang aku suka terperanjat dengan diriku sendiri yang diam-diam menyimpan foto-fotonya di telepon genggamku. Sungguh lucu ya? Haha.

Sudahlah Isabel, besok aku harus kembali menjalani hari layaknya pria-pria dewasa. Menyusuri jalanan yang keras dan tak mengenal belas kasih demi mencari rezeki. Aku harap kau tak keberatan dengan kisahku yang agak panjang malam ini.

Dari aku yang merindukanmu,

P.S: 
Cepatlah pulang, banyak orang membutuhkanmu 9 Juli nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar