14/10/12

Kehilangan: Harta, Kesehatan, dan Karakter

“Ketika kita kehilangan harta, kita hanya kehilangan sedikit. Ketika kita kehilangan kesehatan, kita kehilangan banyak. Tetapi ketika kita kehilangan karakter diri kita, kita kehilangan segalanya.”

Guru saya pernah mengatakan hal tersebut ketika saya duduk di bangku SMP. Pernyataan yang sangat membingungkan saat pertama kali saya dengar. Bagaimana bisa ketika kita kehilangan harta, kita hanya kehilangan sedikit? Padahal harta merupakan akumulasi kekayaan dan kepemilikan dari usaha kita selama bertahun-tahun. Dan sakit, ya, kata lain dari kehilangan kesehatan, mengapa kita bisa kehilangan banyak? Padahal kita dengan cepatnya bisa sembuh dari suatu penyakit. Dan karakter? Apa itu karakter? Mengapa ketika kita kehilangannya kita akan kehilangan segalanya? Sekiranya begitulah pemikiran saya ketika duduk di bangku SMP. 

Seiring berputarnya waktu, kata-kata guru saya terus terngiang di pikiran saya. Setiap kali saya melihat berita mengenai kebakaran di suatu tempat di televisi, pada akhir berita sang pembawa berita akan selalu berkata, “Kerugian dari kebakaran mencapai...”, dan jika beruntung, “Tidak ada korban dalam peristiwa kebakaran tersebut”. Kata-kata tersebut kembali berputar di pikiran saya. Mengapa harus beruntung? Bukankah mereka tetap saja kena sial akibat kebakaran tersebut? Bayangkan, mereka kehilangan tempat tinggal, harta, dan mungkin masa depan mereka. Kenapa sang pembawa berita masih mengatakan itu suatu keuntungan?

Hingga tiba suatu saat ketika bos ayah saya menjadi korban tindak kriminal. Ketika itu beliau sedang mengendarai mobil pribadinya, beliau berhenti di lampu merah, dan tepat pada saat malam yang sepi itu mobilnya dikelilingi oleh banyak pemuda. Tanpa menunggu, pemuda-pemuda tersebut memecahkan kaca mobil beliau dan membajak mobilnya. Beliau pun keluar dari mobil dengan tangan hampa. Dompet, telpon genggam, dan seluruh arsip bisnisnya hilang bersama mobilnya yang dibajak. Ketika cerita tersebut disampaikan, secara refleks saya bertanya kepada ayah saya, “Kenapa tidak melawan?”, kemudian ayah saya hanya tersenyum dan mengusap rambut saya. 

Ternyata hidup tidak semurah itu. Hidup tidak bisa dibeli dan juga tidak bisa dijual. Hidup merupakan suatu berkah dan kutukan di saat yang bersamaan. Saya sadar bahwa harta bisa dicari lagi ketika hilang, tetapi kesehatan merupakan hal yang mungkin hanya Tuhan yang bisa memberikannya kembali kita ia hilang. Itulah mengapa ketika kita kehilangan kekayaan, kita kehilangan sedikit, namun ketika kita kehilangan kesehatan, kita kehilangan banyak.

Lalu bagaimana dengan karakter? 

Manusia tercipta begitu berbeda, kita tak ada yang sama persis ketika diciptakan oleh Tuhan. Kita menjadi pionir-pionir penggerak dari hal-hal yang kita percayai. Kita melakukan apa yang menjadi minat dan bakat kita. Kita bersosialisasi dan mencari kehidupan yang kita inginkan melalui hal-hal tersebut. Karakter adalah ciri khas, dia adalah gambaran mengenai siapa kita. Analogi dan manifestasi dari pikiran kita. Kita dipercaya dan saling mempercayai karena karakter. Dari sinilah saya bisa mengatakan pentingnya karakter. 

Saya tidak bisa melihat sisi lain dari karakter kecuali kepercayaan. Kepercayaan yang terbangun dari karakter yang secara konsisten terus ada. Konsistensi karakter yang terbentuk karena kejujuran kita terhadap apa yang kita rasakan. I’m sad when I’m sad, I’m happy when I’m happy, I’m angry when I’m angry. Kita tidak boleh berbohong kepada diri kita sendiri. Kita berperilaku apa adanya, karena hanya dengan begitulah karakter kita bisa terbentuk. Kepercayaan akan terjalin, dan orang-orang mengetahui kejujuran kita. 

Ketika kita berbohong kepada diri sendiri, kita kehilangan karakter kita. Kita kehilangan kepercayaan yang kita butuhkan untuk mendapatkan hidup yang kita inginkan. Kita kehilangan harta dan kehidupan, kita kehilangan segalanya. Maka, jujurlah kepada diri sendiri. Kita merasa sedih, kecewa, dan menyesal saat kita kehilangan. Apapun bentuk dari kehilangan tersebut, jujurlah, dan orang-orang di sekitarmu akan mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar